Selasa, 08 Mei 2012

WANTED: Ikhwan Idaman!


WANTED: Ikhwan Idaman!    

Siapa sih yang nggak ngarepin kebaikan? Kita yakin banget bahwa setiap orang pengen dapetin kebaikan. Ia berdoa dan berusaha untuk mendapatkan kebaikan tersebut.
BTW, nggak ada salahnya juga kalo ngarepin kebaikan dalam urusan pendamping hidup. Namanya juga pendamping hidup, berarti harapannya, selama kita hidup ya si dia menjadi pendamping kita. Begitu pun sebaliknya.
Sobat muda muslim, kalo pekan kemarin kita bahas dari sisi ikhwan yang punya hajat, sekarang kita pengen menelusuri harapan dan impian para akhwat tentang ikhwan. Maksudnya biar adil (satu sama), gitu lho.
Oya, buat kamu yang masih SMA (apalagi SMP), tolong jangan merasa kalo bahasan kita kali ini tuh dewasa banget. Jangan ya. Soalnya, kalo kamu udah baligh kan disebut dewasa juga. Itu sebabnya, insya Allah masih cocok. Cuma mungkin perlu dengan catatan tambahan, bahwa kalo sampe mikirin nikah sementara masih berseragam putih-biru dan putih-abu, jangan dulu deh. Oke? Jadiin aja tulisan ini sebagai info penting buat ke depannya.
Yup, pembelajaran seperti ini insya Allah penting banget. Sebab, kita juga ngeri dengan perkembangan temen-teman yang kayaknya udah “siaga satu” dalam kasus pergaulan bebas (termasuk seks bebas di dalamnya). Bahaya banget gitu lho. Jadi intinya, daripada anak-anak SMP or SMA dijejali dengan gaya hidup permisif dan hedonis, yang akhirnya membuat mereka salah asuh dan salah arah, mendingan kita kenalkan model pergaulan dalam Islam, khususnya dalam membentuk prinsip mencari pendamping hidup. Bukan mencari teman kencan saat pacaran. Tul nggak?
Sobat muda muslim, setiap perbuatan yang kita lakuin tuh pasti sesuai dengan cara pandang kita terhadap perbuatan tersebut. Lebih luas lagi cara pandang kita tentang hidup. Kalo kita memandang hidup tuh sekadar tumbuh, berkembang, lalu sampai titik tertentu mati (dan nggak ada kehidupan akhirat), maka perbuatan kita pun bakalan ngikutin apa yang kita pahami tentang kehidupan tersebut. Kita bisa bebas berbuat apa saja sesuai keinginan kita, karena kita merasa bahwa hidup cuma di dunia. Kehidupan setelah dunia kita anggap nggak ada. Artinya, kita jadi nggak kenal ada istilah pahala dan dosa.
Sebaliknya, bagi kita yang meyakini bahwa kita berasal dari Allah Swt. yang menciptakan kita semua, terus hidup di dunia juga adalah untuk ibadah kepadaNya, dan setelah kematian kita akan hidup di alam akhirat sesuai dengan amalan yang kita lakukan di dunia. Kalo banyak amal baik yang kita lakukan, insya Allah balasannya pahala dan di tempatkan di surga. Sebaliknya, kalo lebih banyak atau selama hidup kita maksiat, jelas dosa dan kita ditempatkan di akhirat di tempat yang buruk, yakni neraka. Naudzubillahi min dzalik.
Nah, dengan sudut pandang terhadap kehidupan yang benar, maka ketika berbuat apapun kita akan menyesuaikan dengan cara pandang kita tentang kehidupan yang benar itu. Termasuk ketika mencari pendamping hidup kita. Nggak sembarangan lho. Nggak asal seneng ngeliatnya aja. Nggak asal bisa dipamerin (emangnya piala?). Nggak asal cuma banyak harta. Intinya sih, kita bakalan berpikir gimana seharusnya menurut aturan Islam. Bukan berpikir sebagaimana adanya kehidupan tersebut.
Ini penting dan perlu. Sebab, kalo yang berpikirnya “sebagaimana adanya kehidupan”, ya akan berpikir bebas nilai. Misalnya ketika manusia itu dianggap berhak melakukan apa saja, maka tentu akan berbuat apa saja sesukanya (berzina, minum khamr, konsumsi narkoba, judi, pacaran dsb). Karena merasa mereka berhak ngelakuin hal tersebut. Nggak terikat aturan yang benar.
Sementara yang berpikirnya “sebagaimana seharusnya”, maka ia akan nyocokkin dengan aturan yang benar. Karena menganggap kehidupan yang ada ini harus sesuai aturan yang benar, gitu lho. Dan Islamlah yang benar.
BTW, kayak gimana sih ikhwan yang dicari, diharepin, dan diinginkan akhwat?

Keimanannya dong ya…
Sebagai seorang muslim, tentunya setiap perbuatan kita wajib menyesuaikannya dengan aturan Islam. Nggak boleh sesukanya. Nah, termasuk dalam hal memilih calon pendamping hidup, baik ikhwan maupun akhwat. Tapi di edisi pekan ini kita pengen tahu pendapat para akhwat soal ikhwan idamannya.
Sebut saja Mawar, ia punya kriteria ikhwan idaman, “Yang saleh, baik, cakep, pengertian, ngerti agama,” paparnya via e-mail yang pertanyaan udah disebar STUDIA via beberapa mailing list.
“Kalo aku sih pengennya tuh ikhwan taat beribadah alias sholeh, hormat sama ortu, sopan, baik hati, pinter. Tapi yang jelas yang pertama agamanya harus OK dan punya semangat berjuang di jalan Allah dengan istiqomah,” tulis Ninink dalam e-mailnya.
Mila, bukan nama sebenarnya ikutan ngasih komen, “Tipe ikhwan yang disukai, biasa, standar akhwat: Baik agamanya, baik akhlaknya, baik sama  keluargaku, mengerti aku (egois banget ya? Hehe..), lebih pinter dari aku (tapi  bukan pinter ngeboong ya), punya inner (enak dipandang juga boleh), udah punya  penghasilan en mapan (kalo ini request-an ibuku... hehehe),” Mila ngejembrengin via e-mailnya.
Hmm.. para ikhwan, kedengarannya sederhana ya? Pengen ngarepin tipe ikhwan yang sholeh. Nah, masalahnya, amal sholeh tuh kan selalu digandeng dengan keimanan. Sebab, nggak mungkin ada amal sholeh tanpa keimanan. Nggak mungkin pula ada orang yang sholeh tapi nggak beriman. Tul nggak?

Cakep? Boljug deh...
Ehm... akhwat juga manusia lho. Maka wajar dong kalo kepengen ‘gandengannya’ (truk kaleee..) tuh sedap dipandang mata. Meski nggak semua ngelihat tampang, tapi ada juga yang ngarepin nilai plusnya. Artinya, imannya oke tapi ganteng juga dong. Boleh-boleh aja sih.
“Jujur aja kalo ngeliat ikhwan yang cakep mupeng alias muka pengen juga kali ya, apa lagi kalo dia rajin beribadah. Tapi kayaknya hanya suka sebatas penglihatan aja kali. Syukur-syukur sih bisa berjodoh ama dia he..he..he..” tulis Ira di surat elektroniknya.
Sebut saja akhwat berinisial “sg”, doi nulis begini dalam e-mail yang dikirim ke STUDIA, “Tergantung sih, saya bukan tipe orang yang gampang suka ama cowok cakep. Sebab, saya suka cowok yang punya kekhasan cara pandang (ideologis gituuuh), rambutnya gondrong, celananya rombeng, berani berbicara, seneng baca buku (kecuali komik), terbuka/bijak (dalam arti, saat menemukan sesuatu yang benar mau menerima dan beralih dari cara pandang sebelumnya), wawasannya luas, tegas, PeDe, bertanggungjawab, cerdas booo, jidatnya nggak item, celana nggak nyongklang.” Waduh, nih sih diborong semua dong? Hehehe.. nggak apa-apa tiap orang kan berbeda selera.
Silakan aja kalo mo nyari yang ganteng or cakep. Sah-sah aja. But, pastikan dong yang Arjuna-mu itu taat beribadah dan sholeh. Tul nggak? Kalo cuma cakep doang sih rugi. Tapi kalo ada yang keimanannya oke, ilmu agamanya oke, dan cakep pula, boleh juga diincer. Asal ada syaratnya, dia juga suka sama kamu. Gubrak! (iya dong, masa’ sih kita harus bertepuk sebelah tangan—Pupus dong jadinya)

Perilakunya menyenangkan
Umumnya sih, ikhwan yang udah oke keimanannya, insya Allah oke juga kepribadiannya. Sebab, setiap apa yang dilakukan itu pastinya ngikutin cara pandang kehidupannya. Artinya, apa yang diilakukannya sesuai yang dipahami. Tapi, kadang praktek beda ama teori.
Nah, gimana nih dengan ikhwan yang jaim? Atau gimana pula menurutmu kalo ada ikhwan yang caper bin ganjen ama akhwat?
“Aku nggak suka kalo ngeliat ikhwan yang jaim. Kayaknya dia tipe orang yang nggak pede untuk menunjukkan jati dirinya (cieee). Apalagi kalo ngeliat ikhwan yang caper dan ganjen ama akhwat, aku nggak suka banget. Karena biasanya ikhwan yang kayak gitu orangnya rese… kan nggak semua akhwat suka diganjenin (99,99 % nggak suka),” tulis Ira ke STUDIA.
But, karena menurut Ira 99,99 persen akhwat nggak suka, ternyata masih ada tuh dari 0,01 persen akhwat yang suka tipe ikhwan yang jaim. Sebut aja Yanti, menurutnya, “Suka, sebab kita-kita jadi tengsin kalau mau jailin ikhwan jaim. Tapi kalo ganjen dan caper nggak sukaaaaa.... ikhwan kok nggak inisiatif cari kerjaan selain caper-in akhwat” paparnya.
“Keimanan so pasti dong ya kudu jadi pilihan utama. But, perilakunya juga harus mencerminkan keimanannya. Jadi aku nggak suka sama ikhwan yang ganjen, yang suka caper sama akhwat, yang sombong, yang nggak mau akur sama ikhwan lainnya, yang ngomongnya nggak sopan. Meskipun dia ilmu agamanya bagus dan rajin berdakwah,“ jelas Arini.
Waaah... harap hati-hati buat para ikhwan. Jangan sampe para akhwat udah nggak sreg duluan sama kita pas ngelihat tampilan kita kayak gitu. Memang sih, ikhwan juga manusia (yeee.. nggak mau kalah sama akhwat yang juga manusia). Karena manusia, maka nggak bisa lepas dari kelemahan dan keterbatasan. Memang sih, tapi kan bisa dipermak jadi oke. Soalnya yang namanya afektif (perasaan or emosional) itu bisa dilatih dengan pembiasaan.

Jika si dia melamarmu...
Maaf, maaf, jangan keburu kepikiran pembahasan ini khusus dewasa. Ya, mungkin ini lebih baik, daripada ditulis: “jika si dia memacarimu...”. Tul nggak? Justru kita harus membiasakan pemahaman bahwa hubungan akrab pranikah (baca: pacaran—gaul bebas-apalagi seks bebas) itu salah. Sementara hubungan yang sah untuk saling mencurahkan kasih-sayang dan perhatian antara ikhwan-akhwat, tentunya lewat pernikahan. Ini yang harus terus dikampanyekan. Itu sebabnya saya lebih memilih diksi alias pilihan kata, “melamarmu”. Setuju kan? Awas kalo nggak setuju (idih, ngancem!)
Sobat muda muslim, kalo suatu saat kamu udah siap nikah, terus ada ikhwan yang mo ngelamar kamu, apa yang bakalan kamu lakukan?
“Ehm... siapa pun ikhwan yang dateng. Aku nggak bisa langsung memutuskan. Sholat istikharah adalah solusinya. Tapi urusan fisik en materi, kayaknya nggak zamannya lagi dipermasalahkan (yang harus dilobi tuh ortu, coz siapa sih ortu yang rela anaknya hidup miskin. Kedengeran matre sih, tapi sebenernya ortu bersikap kayak gitu, aku yakin alasan mendasarnya bukan karena matre, mereka cuma pengen anaknya hidup bahagia. Ciee.. sok bijaksana gini nih).” Mila menulis barisan kata-kata ini via e-mailnya ke STUDIA. Bener nih?
Eh, kalo ada ikhwan yang gagah, keren, pinter, tsaqafah Islamnya juga tinggi, anak orang kaya, rajin berdakwah, sholeh, keimanannya mantep (wuih, ada nggak sih se-perfect ini di dunia nyata?), terus kamu ngarepin jadi pendamping hidupnya nggak?
“Oh... so pasti gitu looh! Eh, tapi ikhwan yang seperti itu langka ditemukan,” Tika ngasih jawaban.
“Ingin banget, tapi semua keputusan akhir kan Allah yang nentuin, kita mungkin cuma bisa usaha,” Ninink menjawab dengan bijak.
Tapi, gimana kalo setelah sekian lama menanti ikhwan idaman hati, eh, yang dateng tuh ikhwannya dengan kriteria: wajah pas-pasan, miskin, ilmu agamanya biasa aja, hanya rajin sholat dan dakwah. Gimana tuh?
It’s ok. I’ll receive. Yang jelas dia orang yang terbuka, bijak, dewasa, dan merdeka. Kekayaan baginya adalah pemikiran yang diejawantahkan dalam kehidupan dan perjuangan. Dan atas dasar itu pula, mencuatlah kesadaran dalam dirinya utk menunaikan kewajiban-kewajiban yang dipanggulnya. Cukup itu, tidak lebih.” papar akhwat yang punya inisial “sg” dalam e-mailnya ke STUDIA.
Sobat muda muslim, kayaknya kalo ditampung semua pendapatnya bisa panjang urusannya neh. Tapi yang jelas, kita bisa punya kesimpulan bahwa umumnya para akhwat mencari ikhwan idaman yang imannya mantep, sholeh, pengertian, perhatian, dan punya jiwa pengemban dakwah. Wuih, sederhana dan sangat wajar. Semoga ini menjadi pegangan dan ukuran kita semua. Karena, yang namanya keimanan (akidah) tuh kriteria number oneeuy dalam prioritas pilihan kita untuk mencari pendamping hidup. Nggak bisa ditawar lagi.
Oke, tulisan ini sekadar melengkapi aja dari tulisan di edisi pekan kemarin yang udah dibahas panjang-lebar (lengkap dengan dalil-dalilnya sebagai panduan bagi ikhwan dan akhwat). Artinya nih, tulisan di edisi ini sekadar penekanan aja dengan lebih banyak mengeksplor pendapat para akhwat. Mengungkap fakta aja dan sedikit ngasih penjelasan tambahan. Semoga bermanfaat dan jadi bahan renungan kita. Makasih

Siapa Temanmu Menurut Pandangan Imam Al Ghazali


Siapa Temanmu Menurut Pandangan Imam Al Ghazali


Manusia itu adalah makhluk sosial. Artinya, mereka sepanjang hidupnya memerlukan kehadiran orang lain agar dapat menyelenggarakan kebutuhan hidupnya sehari-hari alias selalu memerlukan teman.
Teman bisa diperoleh dalam keluarga sendiri, atau orang di luar kelompok keluarga. Kita sebagai manusia sepatutnyalah bisa bergaul dengan siapa saja. Tapi, Islam memberi tuntunan bahwa untuk memberikan manfaat yang lebih besar bagi diri kita dan agama kita, maka sepatutnyalah kita pandai memilih pada siapa saja kita bergaul lebih akrab dengan teman kita dalam lingkungan pergaulan yang luas tersebut.

Nabi SAW bersabda:
”Manusia itu menurut agama temannya. Maka hendaklah diperhatikan olrh seseorang di antara kamu akan orang yang akan diambil menjadi temannya.” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan Al Hakim dari Abu Hurairah dengan sanad shahih)

Al Ghazali, dalam bukunya Ihya’ Ulumiddin mengatakan bahwa ada lima perkara pada orang yang patut dipilih menjadi teman. Yaitu berakal, baik budi pekerti, tidak fasiq, tidak berbuat bid,ah dan tidak loba kepada dunia.
Penjelasannya sebagai berikut:

1. Berakal.
Akal adalah pokok dan itulah asalnya. Tak ada kebajikan berteman dengan orang bengal. Kesudahannya, akan kembali kepada keliaran hati dan putus silaturrahim, walaupun persahabatan itu telah berjalan lama.

Orang bengal itu kadang-kadang mendatangkan kemelaratan kepadamu, sedang maksudnya mendatangkan kemanfaatan kepadamu danmenolong kamu, dimana sebenarnya, ia tidak tahu.

Yang dimaksud dengan orang “berakal” ialah orang yang memahami segala persoalan, menurut yang sebenarnya. Adakalahnya oleh dirinya sendiri dan adakalanya apabila diberi peringatan oleh orang lain.

2. Baik Budi Pekertinya
Baik budi pekertinya tidak boleh tidak harus dimiliki oleh siapapun yang menjadi teman kita. Karena banyaklah orang berakal, mengetahui segala sesuatu menurut yang sebenarnya. Tetapi apabila dia memiliki sifat pemarah, atau punya nafsu syahwat yang besar atau seorang pengecut, niscaya ia suatu saat mengikuti hawa nafsunya. Kalau sudah begini, ia akan melanggar apa yang sebenarnya diketahuinya. Hal ini terjadi akibat dari lemahnya kontrol dan pengendalian yang bersumber dari budi pekerti yang baik. Itu sebabnya patut bagi kita memperhatikan kebaikan budi pekerti teman kita.

3. Tidak Fasiq
Yang dimaksud disini dengan orang fasiq adalah orang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah. Tidak ada faedah berteman dengannya karena orang tidak akan merasa aman dari tipuannya serta tidak dipercayai dengan kebenarannya. Ia selalu berubah dengan perubahan maksud-maksudnya.

”Dan janganlah engkau turut orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami dan ia menurutkan hawa nafsunya.” (Qs Al Kahfi:28)

”Oleh yang demikian itu, janganlah engkau dipalingkan daripada mempercayainya,oleh orang yang tidak percaya kepadanya serta menurut hawa nafsunya. (Qs Thoha: 16)

”Oleh karena itu, maka tinggalkanlah orang yang berpaling dari mengingat Kami dan ia tidak ingin, selain dari penghidupan yang rendah ini.” (Qs An-Najm: 29)

”Dan turutlah jalan orang yang kembali kepada-Ku”(Qs Luqman: 15)

4. Tidak Berbuat Bid’ah
Berteman dengan orang yang berbuat bid’ah, maka berteman dengan dia, terdapat bahaya menjalarnya bid’ah itu dan berkembang kutukan bid’ah kepadanya.

Umar ra telah berkata: “Haruslah kamu berteman dengan orang-orang benar! Kamu akan hidup dalam lindungan mereka. Sesungguhnya mereka itu, adalah hiasan pada waktu senang danperisai pada waktu susah. Letakkanlah persoalan saudaramu (temanmu) dalam keadaan yang sebaik-baiknya! Sehingga ia membawa kepada kamu, apa yang memenangkan kamu. Dan asingkanlah dirimu dari musuhmu danberhati-hatilah dari temanmu, kecuali yang kepercayaan dari kamu itu! Dan tidak ada yang kepercayaan, selain orang yang takut kepada Allah. Maka janganlah engkau berteman dengan orang dzalim, nanti kamu akan memperoleh pengetahuan dari kedzalimannya! Dan janganlah engkau perlihatkan kepadanya rahasia engkau! Dan bermusyarawarahlah tentang urusanmu dengan orang-=orang yang takut kepada Allah!” (diriiwayatkan oleh Sa’id bin Al-musayyab)

AlQamah Al-‘Atharidi didalam wasiatnya kepada anaknya, ketika ia hampir meninggal dunia. Ia berkata: ”Hai anakku! Apabila datang keperluan bagimu untuk berteman dengan orang, maka bertemanlah dengan orang, dimana apabila engkau melayaninya, niscaya ia menjaga engkau! Dan jiikalau engkau menemaninya, niscaya ia menimbang dengan penghargaan akan engkau. Dan jikalau engkau memerlukan perbelanjaan, niscaya ia membelanjai engkau. Bertemanlah dengan orang, a[abila engkau mengulurkan tanganmu kepadanya dengan kebajikan, niscaya iapun mengulurkannya. Jikalau ia melihat daripadamu kebajikan, niscaya diperkirakannya. Jikalau ia melihat kejahatan, niscaya ditutupkannya. Bertemanlah dengan orang, apabila engkau meminta padanya, niscaya diberikannya kepadamu. Dan kalau engkau berdiam diri, niscaya dimulainya memberikan kepadamu. Dan jikalau datang bencana kepadamu, niscaya ditolongnya kamu. Bertemanlah dengan orang, apabila engkau berkata, niscaya dibenarkannya perkataanmu. Dan kalau kamu berdua berusaha tentang sesuatu, niscaya dipentingkannya urusanmu. Dan kalau kamu berdua berselisih, niscaya diutamakannya kamu.”

Ali ra bermadah:
”Temanmu yang sebenarnya,
ialah orang yang ada bersamamu.
Dan orangyang menyusahkan diriya,
Supaya ia bermanfaat kepadamu.

Pada waktu membimbangkan,
Ia berkata terus terang kepadamu.
Dia sendiri pecah berantakan,
Supaya kamu terkumpulkan selalu.”

Berkata setengah Ulama: Janganlah kamu berteman, selain dengan salah seorang dari dua: Orang yang engkau pelajari daripadanya, sesuatu tentang urusan agamamu. Maka ia memanfaatkan kepadamu. Atau orang yang engkau ajarkan sesuatu tentang urusan agamanya, lalu diterimanya daripadamu. Dan orang yang ketiga (orang yagn tidak engkau pelajari agama padanya dan tidak engkau ajari agama kepadanya), maka larilah daripadanya.”

Berkata Ja’far Ash Shadiq ra: Janganlah engkau berteman dengan lima orang:
Pertama: Pendusta. Maka engkau berada dalam penipuannya. Dia adalah seumpama cahaya panas (fatamorgana), dekat kepadamu yang jauh dan jauh kepadamu yang dekat.
Kedua: Orang dungu. Maka tidaklah engkau memperoleh daripadanya sesuatu. Ia mau mendatangkan manfaat kepadamu, lalu ia memelaratkan akan kamu.
Ketiga: Ornag kikir. Maka ia putuskan daripada kamu, sesuatu yang kamu amat memerlukan kepadanya.
Keempat: Orang pengecut. Maka ia akan menyerahkan kamu dan ia akan lari ketika menghadapi kesulitan.
Kelima: orang fasiq. Maka ia akan menjual kamu dengan sesuap makanan atau kurang dari itu.!”

Berkata Ibnu Abil Hawari: “Berkata kepadaku guruku AbuSUlaiman: “Hai Ahmad (nama dari Ibnu Abi Hawari) janganlah engkau berteman, selain dari salah seorang dari dua: Orang yang dapat engkau memperoleh manfaat padanya mengenai urusan duniamu. Atau orang yang dapat engkau menambahkan bersama dia dan memperoleh kemanfaatan dengan dia, mengenai urusan akhiratmu! Dan berurusan dengan orang yang lain daripada yang dua ini, adalah dungu sekali.”

5. Tidak loba kepada Dunia
Adapun berteman dengan dia adalah racun pembunuh. Karena tabiat (karakter) manusia ini, tertarik dan menyerupai. Duduk-duduk bersama dengan orang yang loba kepada dunia itu, dapat menggerakkan kelobaan. Dan duduk bersama orang yang zahid, dapat menggerakkan kkezuhuidan di dunia. Karena itulah, tiada disukai berteman dengan orang-orang yang mencari dunia. Dan disunnahkah berteman, dengan orang-orang yang gemar akan akhirat.

Berkata Ali ra: ”Hidupkanlah ketaatan dengan duduk-duduk brsama orang yang disegani.”

Berkata Ahmad bin Hanbal ra: ”Tiada yang menjatuhkan aku ke dalam bencana, selain karena berteman dengan orang yang aku tidak malu kepadanya.”

Berkata Lukman: ”Hai anakku! Duduk-duduklah dengan ulama dan berdesak-desaklah kepada mereka dengan kedua lututmu. Karena sesungguhnya hati iti hidup, dengan pengetahuan tinggi (ilmu hikmah), sebagaimana tanah mat hidup dengan banjir dari hujan.”

Demikian semoga bermanfaat.

========
Sumber: Ihya Ulumiddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), jilild 3. Kitab Adab Berkasih-kasihan.

Produktifitas Seorang Muslim


Produktifitas Seorang Muslim

Produktif merupakan salah satu sifat inti yang sangat didambakan oleh setiap manusia. Pengakuan eksistensi individu (juga sebuah kelompok) di lingkungan masyarakat akan ditentukan oleh ada tidaknya produktifitas individu tersebut. Oleh karena itu, seseorang yang tidak produktif biasanya akan digelari wujuduhu ka 'adamihi, keberadaannya tidak berpengaruh dan tidak menimbulkan perubahan yang signifikan dan ketiadaannya pun tidak menimbulkan rasa kehilangan serta penurunan etos produktifitas yang lainnya.
Maka, sangatlah wajar bila dalam rangka memenuhi keingian manusia untuk menjadi sosok yang produktif, dan eksistensinya secara sosial diakui, banyak konsep-konsep yang ditawarkan kepada mereka supaya bisa membangun dirinya menjadi manusia yang produktif. Semua konsep mempunyai misi tertentu, baik dalam pembentukan paradigma seseorang ataupun pembentukan visi dan misi hidupnya.
Oleh karena itu, banyak terdapat perbedaan asasi antara konsep yang ditawarkan oleh Islam (strategi Islam menciptakan manusia produktif) dengan konsep-konsep dari luar Islam. Konsep-konsep dari luar Islam biasanya berorientasikan materi dan dunia serta menjauhkannya dari nilai-nilai ilahiyyah. Sedangkan konsep Islam adalah penggabungan keduanya. Konsep-konsep Islam mampu menembus dimensi basyariyah sekaligus dimensi ilahiyah. Oleh karena itu, Islam bukanlah agama yang hanya mengurusi masalah-masalah vertikal saja, melainkan juga membahas masalah yang sifatnya horizontal.
Islam adalah agama syamil, yang mengurusi semua aspek kehidupan manusia. Islam merupakan agama 'amali, agama yang mengutamakan nilai-nilai produktivitas secara sempurna dan syumuli, baik produktif dalam arti menghasilkan sebuah karya ataupun produktif dalam arti mengasilkan sebuah peningkatan serta perbaikan diri dan masyarakat. Oleh karena itu, produktifitas di sini didefinisikan sebagai semua hal yang mengandung nilai-nilai kebaikan (khairiyyah). Dan kita dituntut untuk melakukan hal ini.
Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan." (QS. 22:77)
Sebelum masuk lebih lanjut kepada konsep Islam membina manusia menuju “sosok produktif”, ada satu persepsi yang harus kita samakan mengenai “manusia produktif” ini. Karena kebanyakan kita menggambarkan sosok ini dari satu dimensi saja. Manusia produktif ialah mereka yang memiliki banyak karya, aktif dan enerjik dalam bekerja. Ini tidaklah salah, akan tetapi bila kita melihat lagi dari kacamata Islam, kita akan mendapatkan bahwa semua nilai-nilai khairiyyah (kebaikan) dianggap suatu produktifitas manusia, duniawi dan ukhrawi.
Oleh karena itu, ada tiga jenis produktifitas manusia, produktifitas terhadap Allah (produktif dalam ibadah mahdhah, shalat, shaum, dzikir, dan lain-lain), produktifitas terhadap diri sendiri (produktif dalam memenej diri, membangun dan membina kedewasaan, dan lain-lain) dan produktifitas terhadap sesama manusia (produktif dalam berbuat ishlah atau perbaikan) baik berupa penularan gagasan dan pikiran (karya-karya ilmiah, ceramah dan dakwah) atau berupa tenaga dan jasa.
Islam –dengan ke-syumulannya– menawarkan konsep “manusia produktif” kepada setiap orang sekaligus mengantarkan mereka menembus nilai-nilai ilahiyyah yang sering tertutup oleh tabir kegelapan jahiliyyah. Sekurang-kurangnya ada empat prinsip yang dapat penulis utarakan sebagai konsep Islam dalam membina manusia menjadi muslim produktif, duniawi dan ukhrawi.
Yang pertama, mengubah paradigma hidup dan ibadah. Dalam Islam, hidup bukanlah menuju kematian, akan tetapi menuju kehidupan yang abadi. Hidup merupakan ladang yang akan dituai hasilnya di kehidupan abadi nanti. Sehingga hidup ini merupakan durasi penyeleksian manusia dari amalan-amalannya, dari produktifitasnya di pentas dunia. Mana di antara mereka yang tigkat produktifitasnya tinggi dan mana yang tidak.
Allah swt berfirman:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. 67:2)
Juga dalam ayat yang lain;
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. 51:56)
Apabila paradigma (cara pandang) terhadap hidup dan ibadah mulai diarahkan sesuai dengan tuntunan Islam, maka peningkatan produktifitas setiap muslim akan mengalami lonjakan kenaikan yang tinggi. Adapun keterbelakangan umat Islam sekarang ini ialah disebabkan oleh salahnya cara pandang mereka terhadap hidup dan ibadah ini, mereka memisahkan wilayah kehidupan dengan agama, dunia dengan akhirat. Padahal sebenarnya Islam merupakan penghubung antara dunia dan akhirat.
Yang kedua, memelihara kunci produktifitas, yaitu hati.
Rasulullah saw bersabda:
"Ingatlah dalam diri manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka akan baiklah seluruh jasadnya. Dan apabila daging itu rusak maka rusaklah seluruh jasadnya, itu tidak lain adalah hati."
Hati merupakan “ruh” bagi semua potensi yang kita miliki. Pikiran dan tenaga tidak akan tercurahkan serta tersalurkan dalam suatu bentuk 'amaliyah khairiyyah (bernilai produktif) jika kondisi hati ini mati atau rusak. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam hadits di atas. Kalaupun ada, maka itu secara dhahir saja dan tidak menyentuh nilai-nilai ilahiyyah.
Hati yang terpelihara dan terlindungi akan memancarkan energi yang mendorong manusia untuk beramal lebih banyak dan lebih berkualitas lagi. Produktivitasnya akan terjaga bahkan akan terus bertambah sedikit demi sedikit. Dan tidak hanya itu, 'amaliyahnya (produktifitas) pun akan mempunyai nilai yang abadi. Nilai ini adalah nilai keikhlasan yang jauh dari kepentingan-kepentingan pribadi dan duniawi. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya”.
Yang ketiga, bergerak dari sekarang. Seorang sahabat pernah berkata, “Jika engkau di pagi hari maka janganlah menunggu waktu besok, dan jika engkau di sore hari maka janganlah menunggu nanti sore”.
Prinsip ”bergerak dari sekarang” ini menunjukan suatu etos kerja yang tinggi dan hamasah (semangat) beramal yang menggebu-gebu. Seorang muslim sangatlah tidak pantas jika menunda-nunda suatu amal, karena waktu dalam pandangan Islam sangatlah mahal (oleh karena itu, dalam Al-Quran Allah swt banyak bersumpah dengan waktu). Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna mengatakan bahwa “waktu adalah kehidupan” .
Dari prinsip ini, akan terlahir sosok-sosok manusia 'amali. Manusia yang senantiasa menghiasi waktunya dengan nilai-nilai produktivitas yang tinggi, dan menjauhi nilai-nilai yang tidak akan mengantarkannya kepada suatu yang tidak produktif. Dan inilah sosok muslim yang ideal sebagaimana yang telah digambarkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya, ia berkata:
“Di antara tanda bagusnya Islam seseorang, ia senantiasa meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi dirinya”.
Yang keempat, kontinuitas dalam beramal. Dalam Islam, masa produktif ialah sepanjang hayat, selama ia masih menghirup kehidupan, maka ia dituntut untuk terus beramal dan menjaga produktivitasnya, walaupun amalan itu dilakukan sedikit demi sedikit. Aisyah pernah menceritakan bahwa suatu waktu Rasulullah saw pernah ditanya mengenai amalan yang paling dicintai oleh Allah, Maka Rasul pun spontan menjawab: ”Yang dilakukan secara terus menerus, walaupun sedikit” (al-Hadits).
Dengan prinsip kontinuitas ini, maka Islam dapat menjaga kestabilan produktivitas seorang muslim. Islam tidak membiarkan seorang muslim beramal “besar” kemudian setelah itu padam dan surut kembali. Dorongan kontinu (dawam) dalam beramal dengan bentuk ahabul a’mali ilallah (yang paling disukai oleh Allah) merupakan dorongan terbesar bagi setiap muslim untuk senantiasa terus produktif dan menjaga produktivitasnya.
Inilah di antara prinsip-prinsip keislaman yang akan mengantarkan manusia menjadi insan 'amali, insan produktif sepanjang hayat. Sekarang tinggal tugas kita, apakah prinsip-prinsip tersebut hanya akan dijadikan sebuah konsep belaka, ataukah akan dijadikan “ruh” kehidupan kita, sehingga kita menjadi “Islam yang berjalan” dan petunjuk-petunjuk Ilahiyyah betul-betul terapliaksikan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Wallahu a'lam

SEKS, REMAJA DAN BATAS-BATAS PERGAULAN


SEKS, REMAJA DAN BATAS-BATAS PERGAULAN


kafemuslimah.com Kasus-kasus penyimpangan masalah seks, khususnya yang dilakukan para remaja dari waktu ke waktu semakin mengkhawatirkan, sementara di masyarakat kita terjadi pergeseran nilai yang semakin jauh sehingga penyimpangan-penyimpangan dalam masalah seks itu sepertinya sudah tidak terlalu dipersoalkan, padahal perzinahan merupakan sesuatu yang sangat keji dan harus dihindari oleh setiap muslim sebagaimana yang disebutkan dalam QS 17:32.

Seks sebenarnya anugerah yang diberikan Allah pada makhluk-makhluk Allah seperti binatang, tumbuh-tumbuhan dan khususnya manusia. Karena itu amat wajar kalau manusia memiliki gairah seksual dan ingin melampiaskan keinginan seksual itu. Allah Swt sendiri tidak pernah melarang manusia untuk melampiaskan keinginan seksualnya selama menempuh jalur yang dibenarkan, cara-cara yang benar dan pada saat yang tidak terlarang. Ketentuan ini diberlakukan untuk kepentingan manusia juga.

Jalur yang dibenarkan Allah bagi manusia untuk melampiaskan keinginan seksnya itu adalah jalur pernikahan, ini berarti orang yang belum menikah jangan coba-coba melampiaskan keinginan seksualnya, karena itu berpacaran semestinya dilakukan sesudah pernikahan bukan sebelum pernikahan, karena berpacaran itu sangat terkait dengan pelampiasan keinginan seksual. Tapi keinginan atau hawa nafsu itu tetap tidak boleh dibunuh, hanya harus dikendalikan agar manusia tidak dikendalikan oleh hawa nafsunya sendiri. Sedangkan cara-cara dan saat-saat yang benar tentu saja sebagaimana yang telah digariskan di dalam Islam dan kita telah mengetahuinya.

Remaja merupakan kelompok dari manusia yang baru tumbuh dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, pertumbuhan remaja ini salah satunya ditandai dengan kematangan biologis sehingga masa kanak-kanak ditinggalkan, bagi wanita dengan haid yang pertama dan bagi pria dengan mengeluarkan sperma dengan sebab mimpi, setelah itu pertumbuhan fisik berkembang cepat, badan jadi cepat gede dan tinggi, suara mulai pecah, tumbuh juga rambut-rambut atau bulu-bulu pada bagian tertentu dari tubuhnya yang bersamaan dengan itu juga terjadi perubahan psikologis atau kejiwaan.
Karena masa remaja itu merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, maka banyak orang yang menyebut masa ini --meskipun tidak selalu benar-- sebagai masa yang labil. Dalam kondisi yang demikian itulah, masa remaja sangat membutuhkan bimbingan nilai-nilai Islam, bila mereka jauh dari nilai-nilai Islam, maka yang terjadi kemudian adalah ketidakmampuan mengendalikan diri. Dalam kaitan seks, para remaja harus mengendalikan hawa nafsunya, dan Rasulullah Saw mengajarkannya dengan melaksanakan ibadah puasa.

Pendidikan Seks.

Dalam kaitan seks di kalangan remaja yang semakin mengkhawatirkan - ini bisa kita simpulkan dari tingkat pergaulan bebas yang sudah demikian luas hingga terjadi kasus-kasus pemerkosaan yang dilakukan remaja, perzinahan yang mengakibatkan kehamilan diluar pernikahan serta terjadinya tindakan pengguguran kandungan-, maka muncul gagasan yang menghendaki agar diadakan perndidikan seks di sekolah, sehingga para remaja menjadi tahu tentang persoalan seks.

Pendidikan seks sebenarnya bermula dari negara-negara Barat yang generasi muda mereka memang sudah sangat bebas dalam masalah seks, pendidikan seks bagi mereka adalah untuk mencegah agar jangan sampai terjadi kehamilan di kalangan remaja setelah berzina, sehingga kalau pendidikan seks diberikan diharapkan tidak terjadi lagi kehamilan remaja itu meskipun hubungan seks dilakukan. Hamil dikalangan remaja barat itu terjadi karena para remaja memang tidak mengerti masalah seks yang sesungguhnya, maka pendidikan seks diberikan agar tidak terjadi kehamilan remaja yang dinilai bisa memutuskan masa depan yang cerah bagi diri, keluarga dan bangsanya.

Oleh karena itu pendidikan seks semacam itu jelas tidak dibenarkan di dalam Islam. Kalau kemudian orang bertanya tentang bagaimana pendidikan seks dalam pandangan Islam, maka jawabannya adalah pendidikan seks dalam Islam itu adalah mendidik para remaja agar tidak berzina, membenci perzinahan dan terus berusaha untuk menjauhinya. Maka yang diterangkan dalam pendidikan seks adalah hinanya perzinahan, bagaimana agar menghindari zina, hukuman untuk para pezina dan sebagainya.

Peringatan Untuk Remaja.

Seks itu bisa mulia dan hina. Mulia kalau melampiaskan keinginannya dengan hal-hal yang dikehendaki Allah dan hina bila melanggar ketentuan-ketentuan Allah Swt. Oleh karena itu para remaja khususnya dan semua orang sebenarnya harus mengendalikan diri agar bisa mencegah dirinya dari perbuatan zina yang keji itu. Allah Swt telah berfirman di dalam Al-Qur’an yang artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang yang keji dan suatu jalan yang buruk “(QS 17:32).


Agar para remaja dan kita semua bisa mencegah diri kita dari hal-hal yang mendekati zina, ada ketentuan-ketentuan yang membatasi pergaulan antara pria dengan wanita yang harus mendapat perhatiannya. Batas-batas pergaulan itu adalah; pertama, menjaga pandangan mata dari melihat lain jenis yang berlebihan, dalam hal ini Allah Swt berfirman yang artinya: Katakanlah kepada laki-laki yang beriman; hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. ..... katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman; hendaklah mereka menahan pandangan matanya dan memelihara kemaluannya ... (QS 24:30-31).


Di dalam hadits, Rasulullah Saw bersabda:
“Telah berkata Jarir bin Abdullah: Saya pernah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang melihat wanita dengan tidak disengaja, maka sabdanya: palingkanlah pandanganmu “(HR. Muslim).

Ya Ali, janganlah engkau iringkan satu pandangan (kepada wanita) dengan satu pandangan , karena yang pertama itu tidak menjadi kesalahan, tetapi tidak yang kedua (HR. Abu Daud).


Kedua, tidak berdua-duaan antara pria dengan wanita yang bukan mahram, karena hal ini sangat rawan terhadap godaan syaitan yang memang selalu menggoda manusia ke jalan yang nista. Hal ini ditegaskan oleh Rasul Saw dalam haditsnya:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia bersendirian dengan seorang wanita di suatu tempat tanpa disertai mahramnya, karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan” (HR. Ahmad).

Ketiga, tidak bersentuhan kulit antara pria dengan wanita, termasuk berjabatan tangan sebagaimana dalam beberapa hadits disebutkan:
“Sesungguhnya aku tidak berjabatan tangan dengan seorang wanita (HR. Malik, Tirmidzi dan Nasa’i).

Tak pernah sekali-kali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya (HR. Bukhari dan Muslim).

”Ditikan seseorang dari kamu di kepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik daripada ia menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya (HR. Thabrani).

Keempat, tidak berbaur antara pria dengan wanita dalam satu tempat, hal ini terdapat dalam hadits Rasul Saw:
Telah berkata Abu Asied: Rasulullah Saw pernah keluar dari masjid, padahal di waktu itu laki-laki dan wanita bercampur di jalan, maka sabda Rasulullah (kepada wanita-wanita): mundurlah! bukan hak kamu berjalan di tengah jalan; hendaklah kamu ambil pinggir jalan (HR. Abu Daud).

Telah berkata Ibnu Umar: Rasulullah melarang laki-laki berjalan diantara dua wanita (HR. Abu Daud).


Dari gambaran ini menjadi jelas bagi kita bahwa pria dengan wanita memang harus menjaga batasan pergaulan agar tidak tidak terjadi perzinahan. Disamping itu perzinahan harus dihindari juga dengan menumbuhkan rasa malu dan menghukum orang yang berzina sebagaimana seharusnya. ini semua harus kita lakukan karena zina membawa akibat yang sangat patal, tidak hanya di dunia seperti dengan terjangkitnya penyakit AIDS, tapi juga di akhirat dengan siksa neraka yang sangat pedih.