WANTED: Ikhwan Idaman!
Siapa
sih yang nggak ngarepin kebaikan? Kita yakin banget bahwa setiap orang pengen
dapetin kebaikan. Ia berdoa dan berusaha untuk mendapatkan kebaikan tersebut.
BTW, nggak ada salahnya juga kalo ngarepin
kebaikan dalam urusan pendamping hidup. Namanya juga pendamping hidup, berarti
harapannya, selama kita hidup ya si dia menjadi pendamping kita. Begitu pun
sebaliknya.
Sobat muda muslim, kalo pekan kemarin kita
bahas dari sisi ikhwan yang punya hajat, sekarang kita pengen menelusuri
harapan dan impian para akhwat tentang ikhwan. Maksudnya biar adil (satu sama),
gitu lho.
Oya, buat kamu yang masih SMA (apalagi SMP),
tolong jangan merasa kalo bahasan kita kali ini tuh dewasa banget. Jangan ya.
Soalnya, kalo kamu udah baligh kan
disebut dewasa juga. Itu sebabnya, insya Allah masih cocok. Cuma mungkin perlu
dengan catatan tambahan, bahwa kalo sampe mikirin nikah sementara masih
berseragam putih-biru dan putih-abu, jangan dulu deh. Oke? Jadiin aja tulisan
ini sebagai info penting buat ke depannya.
Yup, pembelajaran seperti ini insya Allah
penting banget. Sebab, kita juga ngeri dengan perkembangan temen-teman yang
kayaknya udah “siaga satu” dalam kasus pergaulan bebas (termasuk seks bebas di
dalamnya). Bahaya banget gitu lho. Jadi intinya, daripada anak-anak SMP or SMA
dijejali dengan gaya hidup permisif dan hedonis, yang akhirnya membuat mereka
salah asuh dan salah arah, mendingan kita kenalkan model pergaulan dalam Islam,
khususnya dalam membentuk prinsip mencari pendamping hidup. Bukan mencari teman
kencan saat pacaran. Tul nggak?
Sobat muda muslim, setiap perbuatan yang kita
lakuin tuh pasti sesuai dengan cara pandang kita terhadap perbuatan tersebut.
Lebih luas lagi cara pandang kita tentang hidup. Kalo kita memandang hidup tuh
sekadar tumbuh, berkembang, lalu sampai titik tertentu mati (dan nggak ada
kehidupan akhirat), maka perbuatan kita pun bakalan ngikutin apa yang kita
pahami tentang kehidupan tersebut. Kita bisa bebas berbuat apa saja sesuai
keinginan kita, karena kita merasa bahwa hidup cuma di dunia. Kehidupan setelah
dunia kita anggap nggak ada. Artinya, kita jadi nggak kenal ada istilah pahala
dan dosa.
Sebaliknya, bagi kita yang meyakini bahwa
kita berasal dari Allah Swt. yang menciptakan kita semua, terus hidup di dunia
juga adalah untuk ibadah kepadaNya, dan setelah kematian kita akan hidup di
alam akhirat sesuai dengan amalan yang kita lakukan di dunia. Kalo banyak amal
baik yang kita lakukan, insya Allah balasannya pahala dan di tempatkan di
surga. Sebaliknya, kalo lebih banyak atau selama hidup kita maksiat, jelas dosa
dan kita ditempatkan di akhirat di tempat yang buruk, yakni neraka. Naudzubillahi min dzalik.
Nah, dengan sudut pandang terhadap kehidupan
yang benar, maka ketika berbuat apapun kita akan menyesuaikan dengan cara
pandang kita tentang kehidupan yang benar itu. Termasuk ketika mencari
pendamping hidup kita. Nggak sembarangan lho. Nggak asal seneng ngeliatnya aja.
Nggak asal bisa dipamerin (emangnya piala?). Nggak asal cuma banyak harta.
Intinya sih, kita bakalan berpikir gimana seharusnya menurut aturan Islam.
Bukan berpikir sebagaimana adanya kehidupan tersebut.
Ini penting dan perlu. Sebab, kalo yang
berpikirnya “sebagaimana adanya kehidupan”, ya akan berpikir bebas nilai.
Misalnya ketika manusia itu dianggap berhak melakukan apa saja, maka tentu akan
berbuat apa saja sesukanya (berzina, minum khamr, konsumsi narkoba, judi,
pacaran dsb). Karena merasa mereka berhak ngelakuin hal tersebut. Nggak terikat
aturan yang benar.
Sementara yang berpikirnya “sebagaimana
seharusnya”, maka ia akan nyocokkin dengan aturan yang benar. Karena menganggap
kehidupan yang ada ini harus sesuai aturan yang benar, gitu lho. Dan Islamlah
yang benar.
BTW, kayak gimana sih ikhwan yang dicari,
diharepin, dan diinginkan akhwat?
Keimanannya dong ya…
Sebagai seorang muslim, tentunya setiap
perbuatan kita wajib menyesuaikannya dengan aturan Islam. Nggak boleh
sesukanya. Nah, termasuk dalam hal memilih calon pendamping hidup, baik ikhwan
maupun akhwat. Tapi di edisi pekan ini kita pengen tahu pendapat para akhwat
soal ikhwan idamannya.
Sebut saja Mawar, ia punya kriteria ikhwan
idaman, “Yang saleh, baik, cakep, pengertian, ngerti agama,” paparnya via
e-mail yang pertanyaan udah disebar STUDIA via beberapa mailing list.
“Kalo aku sih pengennya tuh ikhwan taat
beribadah alias sholeh, hormat sama ortu, sopan, baik hati, pinter. Tapi yang
jelas yang pertama agamanya harus OK dan punya semangat berjuang di jalan Allah
dengan istiqomah,” tulis Ninink dalam e-mailnya.
Mila, bukan nama sebenarnya ikutan ngasih
komen, “Tipe ikhwan yang disukai, biasa, standar akhwat: Baik agamanya, baik
akhlaknya, baik sama keluargaku, mengerti aku (egois banget ya? Hehe..),
lebih pinter dari aku (tapi bukan pinter ngeboong ya), punya inner (enak
dipandang juga boleh), udah punya penghasilan en mapan (kalo ini request-an ibuku...
hehehe),” Mila ngejembrengin via e-mailnya.
Hmm.. para ikhwan, kedengarannya sederhana
ya? Pengen ngarepin tipe ikhwan yang sholeh. Nah, masalahnya, amal sholeh tuh kan selalu digandeng
dengan keimanan. Sebab, nggak mungkin ada amal sholeh tanpa keimanan. Nggak
mungkin pula ada orang yang sholeh tapi nggak beriman. Tul nggak?
Cakep? Boljug deh...
Ehm... akhwat juga manusia lho. Maka wajar
dong kalo kepengen ‘gandengannya’ (truk kaleee..) tuh sedap dipandang mata.
Meski nggak semua ngelihat tampang, tapi ada juga yang ngarepin nilai plusnya.
Artinya, imannya oke tapi ganteng juga dong. Boleh-boleh aja sih.
“Jujur aja kalo ngeliat ikhwan yang cakep
mupeng alias muka pengen juga kali ya, apa lagi kalo dia rajin beribadah. Tapi
kayaknya hanya suka sebatas penglihatan aja kali. Syukur-syukur sih bisa
berjodoh ama dia he..he..he..” tulis Ira di surat elektroniknya.
Sebut saja akhwat berinisial “sg”, doi nulis
begini dalam e-mail yang dikirim ke STUDIA, “Tergantung sih, saya bukan tipe
orang yang gampang suka ama cowok cakep. Sebab, saya suka cowok yang punya
kekhasan cara pandang (ideologis gituuuh), rambutnya gondrong, celananya
rombeng, berani berbicara, seneng baca buku (kecuali komik), terbuka/bijak
(dalam arti, saat menemukan sesuatu yang benar mau menerima dan beralih dari
cara pandang sebelumnya), wawasannya luas, tegas, PeDe, bertanggungjawab,
cerdas booo, jidatnya nggak item, celana nggak nyongklang.” Waduh, nih sih diborong semua
dong? Hehehe.. nggak apa-apa tiap orang kan
berbeda selera.
Silakan aja kalo mo nyari yang ganteng or
cakep. Sah-sah aja. But,
pastikan dong yang Arjuna-mu itu taat beribadah dan sholeh. Tul nggak? Kalo
cuma cakep doang sih rugi. Tapi kalo ada yang keimanannya oke, ilmu agamanya
oke, dan cakep pula, boleh juga diincer. Asal ada syaratnya, dia juga suka sama
kamu. Gubrak! (iya dong, masa’ sih kita harus bertepuk sebelah tangan—Pupus dong jadinya)
Perilakunya menyenangkan
Umumnya sih, ikhwan yang udah oke keimanannya,
insya Allah oke juga kepribadiannya. Sebab, setiap apa yang dilakukan itu
pastinya ngikutin cara pandang kehidupannya. Artinya, apa yang diilakukannya
sesuai yang dipahami. Tapi, kadang praktek beda ama teori.
Nah, gimana nih dengan ikhwan yang jaim? Atau
gimana pula menurutmu kalo ada ikhwan yang caper bin ganjen ama akhwat?
“Aku nggak suka kalo ngeliat ikhwan yang
jaim. Kayaknya dia tipe orang yang nggak pede untuk menunjukkan jati dirinya
(cieee). Apalagi kalo ngeliat ikhwan yang caper dan ganjen ama akhwat, aku
nggak suka banget. Karena biasanya ikhwan yang kayak gitu orangnya rese… kan nggak semua akhwat
suka diganjenin (99,99 % nggak suka),” tulis Ira ke STUDIA.
But, karena menurut Ira 99,99 persen akhwat nggak suka, ternyata
masih ada tuh dari 0,01 persen akhwat yang suka tipe ikhwan yang jaim. Sebut
aja Yanti, menurutnya, “Suka, sebab kita-kita jadi tengsin kalau mau jailin
ikhwan jaim. Tapi kalo ganjen dan caper nggak sukaaaaa.... ikhwan kok nggak
inisiatif cari kerjaan selain caper-in akhwat” paparnya.
“Keimanan so pasti dong ya kudu jadi pilihan
utama. But,
perilakunya juga harus mencerminkan keimanannya. Jadi aku nggak suka sama
ikhwan yang ganjen, yang suka caper sama akhwat, yang sombong, yang nggak mau
akur sama ikhwan lainnya, yang ngomongnya nggak sopan. Meskipun dia ilmu
agamanya bagus dan rajin berdakwah,“ jelas Arini.
Waaah... harap hati-hati buat para ikhwan.
Jangan sampe para akhwat udah nggak sreg duluan sama kita pas ngelihat tampilan
kita kayak gitu. Memang sih, ikhwan juga manusia (yeee.. nggak mau kalah sama
akhwat yang juga manusia). Karena manusia, maka nggak bisa lepas dari kelemahan
dan keterbatasan. Memang sih, tapi kan
bisa dipermak jadi oke. Soalnya yang namanya afektif (perasaan or emosional)
itu bisa dilatih dengan pembiasaan.
Jika si dia melamarmu...
Maaf, maaf, jangan keburu kepikiran
pembahasan ini khusus dewasa. Ya, mungkin ini lebih baik, daripada ditulis:
“jika si dia memacarimu...”. Tul nggak? Justru kita harus membiasakan pemahaman
bahwa hubungan akrab pranikah (baca: pacaran—gaul bebas-apalagi seks bebas) itu
salah. Sementara hubungan yang sah untuk saling mencurahkan kasih-sayang dan
perhatian antara ikhwan-akhwat, tentunya lewat pernikahan. Ini yang harus terus
dikampanyekan. Itu sebabnya saya lebih memilih diksi alias pilihan kata,
“melamarmu”. Setuju kan?
Awas kalo nggak setuju (idih, ngancem!)
Sobat muda muslim, kalo suatu saat kamu udah
siap nikah, terus ada ikhwan yang mo ngelamar kamu, apa yang bakalan kamu
lakukan?
“Ehm... siapa pun ikhwan yang dateng. Aku
nggak bisa langsung memutuskan. Sholat istikharah adalah solusinya. Tapi urusan
fisik en materi, kayaknya nggak zamannya lagi dipermasalahkan (yang harus
dilobi tuh ortu, coz
siapa sih ortu yang rela anaknya hidup miskin. Kedengeran matre sih, tapi
sebenernya ortu bersikap kayak gitu, aku yakin alasan mendasarnya bukan karena
matre, mereka cuma pengen anaknya hidup bahagia. Ciee.. sok bijaksana gini
nih).” Mila menulis barisan kata-kata ini via e-mailnya ke STUDIA. Bener nih?
Eh, kalo ada ikhwan yang gagah, keren,
pinter, tsaqafah Islamnya juga tinggi, anak orang kaya, rajin berdakwah,
sholeh, keimanannya mantep (wuih, ada nggak sih se-perfect ini di dunia nyata?), terus kamu
ngarepin jadi pendamping hidupnya nggak?
“Oh... so pasti gitu looh! Eh, tapi ikhwan
yang seperti itu langka ditemukan,” Tika ngasih jawaban.
“Ingin banget, tapi semua keputusan akhir kan Allah yang nentuin,
kita mungkin cuma bisa usaha,” Ninink menjawab dengan bijak.
Tapi, gimana kalo setelah sekian lama menanti
ikhwan idaman hati, eh, yang dateng tuh ikhwannya dengan kriteria: wajah
pas-pasan, miskin, ilmu agamanya biasa aja, hanya rajin sholat dan dakwah.
Gimana tuh?
“It’s
ok. I’ll receive. Yang jelas dia orang yang terbuka, bijak, dewasa,
dan merdeka. Kekayaan baginya adalah pemikiran yang diejawantahkan dalam
kehidupan dan perjuangan. Dan atas dasar itu pula, mencuatlah kesadaran dalam
dirinya utk menunaikan kewajiban-kewajiban yang dipanggulnya. Cukup itu, tidak
lebih.” papar akhwat yang punya inisial “sg” dalam e-mailnya ke STUDIA.
Sobat muda muslim, kayaknya kalo ditampung
semua pendapatnya bisa panjang urusannya neh. Tapi yang jelas, kita bisa punya
kesimpulan bahwa umumnya para akhwat mencari ikhwan idaman yang imannya mantep,
sholeh, pengertian, perhatian, dan punya jiwa pengemban dakwah. Wuih, sederhana
dan sangat wajar. Semoga ini menjadi pegangan dan ukuran kita semua. Karena,
yang namanya keimanan (akidah) tuh kriteria number
oneeuy dalam prioritas pilihan kita untuk mencari pendamping hidup.
Nggak bisa ditawar lagi.
Oke,
tulisan ini sekadar melengkapi aja dari tulisan di edisi pekan kemarin yang
udah dibahas panjang-lebar (lengkap dengan dalil-dalilnya sebagai panduan bagi
ikhwan dan akhwat). Artinya nih, tulisan di edisi ini sekadar penekanan aja
dengan lebih banyak mengeksplor pendapat para akhwat. Mengungkap fakta aja dan
sedikit ngasih penjelasan tambahan. Semoga bermanfaat dan jadi bahan renungan
kita. Makasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar