“Bersekolah” di Sinetron Remaja
Makhluk
berseragam dengan usia belasan sudah akrab dengan kehidupan kita sehari-hari.
Dari hari Senin sampe Sabtu, setiap pagi biasanya mereka mangkal di pinggiran
jalan atau di halte-halte bis. Tapi jangan su'udzon dulu ya. Mereka bukan lagi
nunggu pelanggan lho (emangnya mbok jamu?). Tapi nunggu jemputan ‘satu untuk
semua' alias angkutan umum. Itu juga kalo sopir ikhlas dengan tingkah polah
mereka yang naeknya rame-rame, turunnya rame-rame, bayar ongkosnya juga
rame-rame alias patungan. Harusnya bayar untuk sepuluh orang, cuma dibayar
lima. Alasannya, yang lima cuma ikut-ikutan. Asal deh!
Kini, kehadiran
mereka nggak cuma meramaikan angkot, tapi sudah merambah dunia layar kaca.
Membanjiri sinetron remaja yang ngerasa belum afdhol kalo nggak nyisipin status
pelajar bagi para pemerannya. Biar akrab ama keseharian pemirsanya yang dominan
remaja. Lihat saja, untuk komunitas seragam putih-abu abu kita mengenal Cinta,
Karmen, Maura, Alia, dan Milly yang bersekolah di SMA ‘Ada Apa Dengan Cinta?'.
Nggak jauh dari situ ada SMA ‘Kawin Gantung' yang dihuni Ridho, Memey dan
konco-konconya. Ada juga SMA ‘ABG' atau SMA ‘Cinta SMU' yang juga ikut ambil
bagian.
Komunitas seragam
putih-biru juga nggak mau ketinggalan. Meski sering dibilang masih bau kencur,
mereka berani bilang kalo SMP juga punya daya pikat. Ada Bom kuadrat (baca:
Bom-Bom) dan Lala yang tengah mengenyam pendidikan di SMP ‘Bidadari'. Atau
Nadya, Alex, Sofi, dan Jason dari SMP ‘Inikah Rasanya'.
Malah, adek-adek
kita yang berseragam putih-merah pengen ikutan nimbrung juga. Seperti hebohnya
aksi “Jenderal Kancil” dengan “Putri Malu”. Atau kisah lugu “Bulan dan
Bintang”. Bener-bener komplit. Tapi seperti apa sih keseharian temen-temen
pelajar kita itu?
Rusaknya citra
pelajar, guru, dan sekolah
Secara umum,
perilaku temen-temen kita di atas emang nggak beda ama kita selaku pelajar.
Berangkat sekolah pake seragam, ikut kegiatan belajar di kelas, ngemil di
kantin pas istirahat, dan kudu taat aturan sekolah. Bedanya, kita hidup di
dunia nyata sementara mereka menjalani status pelajarnya di dunia layar kaca
yang seolah nyata. Kita dituntut manut ama kurikulum pendidikan keluaran Diknas
sementara mereka kudu ngikut skenario bimbingan sutradara. Sayangnya, justru
perbedaan ini yang menimbulkan kesan pelecehan terhadap sekolah, guru, atau
perilaku kaum terpelajar yang dipertontonkan para pemainnya.
Sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal dijadikan ajang pamer aurat, kekayaan, dan harga
diri. Cara berpakaian siswi SMA, terutama pemeran utamanya, sangat mengumbar
syahwat. Kemeja lengan pendek yang dikeluarin, transparan dan ketat hingga
kancing bagian dadanya terlihat mau copot eh copot..copot. Rok yang
dikenakannya pun mirip pemain tenis lapang. Mini dan jauh di atas lutut. Adakah
sekolah yang melegalisasi seragam ‘fasthabiqul aurat' (berlomba-lomba
memamerkan aurat) kayak gini?
Eskploitasi gaya
hidup mewah bin glamour yang menjual mimpi juga terasa kental di dunia dalam
syuting ini. Aksesoris yang menunjang penampilan seperti ponsel terbaru,
arloji, busana, sepatu, hingga kendaraan berseliweran di sekolah. Semuanya high
class punya. Para pemain berlomba memamerkan kekayaannya. Nggak ada lagi
rebutan angkot. Yang ada rebutan tempat parkir. Nggak ada kegiatan KBM. Yang
keliatan nggak jauh dari acara makan fast food , shopping, atau ngeceng di mal.
Keberadaan guru
sebagai pendidik hanya untuk meramaikan saja. Seperti yang diperankan pelawak
Komar di SMU ‘Kawin Gantung'. Tidak ada lagi rasa hormat yang seharusnya
ditunjukkan murid pada gurunya. Profesi guru kehilangan kewibawaan di hadapan
murid. Yang lebih parah dijadikan bahan tertawaan. Citra pahlawan tanpa tanda
jasa disulap jadi pecundang tanpa wibawa.
Perilaku pelajar
yang diperankan juga cenderung permissif dan bebas dari aturan sekolah.
Siswanya berani memamerkan tatto, rambutnya dicat dengan warna mencolok kayak
traffic light , memakai anting, slayer, topi koboi, gelang, atau berperilaku
layaknya preman. Kancing baju bagian atas di buka dan kemeja lengan pendeknya
digulung. Kata-kata kasar dengan nada celaan, cacian, makian mereka lontarkan
sebagai bentuk kebencian, iri hati, dan kedengkian kepada lawan mainnya.
Pergaulan bebas di antara mereka menjadi menu utama. Segala hal yang berbau
cinta menyita perhatian, waktu, tenaga, dan juga materi para pemerannya
sepanjang cerita. Seolah, urusan cinta adalah hidup-mati mereka. Sehingga
dianggap wajar jika harus menelantarkan kepentingan sekolah. Waduh, itu namanya
sebuah ancaman serius nih.
Sobat muda
muslim, tega bener ya orang-orang yang nyomot status pelajar dan keberadaan
sekolah dalam filmnya sekadar untuk menghilangkan dahaga mereka yang haus
materi. Padahal mereka juga bisa kayak gitu karena jasa-jasa guru dan pihak
sekolah. Ya…beginilah hidup di alam kapitalis. Norma, etika, ataupun hukum
agama tidak lebih berharga dari setumpuk harta. Ciloko tenan!
Sinetron remaja,
miskin kreativitas
Sobat,
kekhawatiran masyarakat akan pengaruh negatif dari sinetron remaja udah sering
dilontarkan. Baik melalui media massa cetak maupun media elektronik. Salah
satunya, surat pembaca yang dimuat Republika pada hari Rabu, 18/08/2004 dari
seorang siswi SLTP IT Al-Hikmah bernama Hana. Menurut Hana, sinetron-sinetron
itu memberi pengaruh besar terhadap merosotnya moral dan akidah pelajar
Indonesia. ( Eramuslim, 26/08/04 ). Sayangnya, pihak produser pura-pura nggak
denger dan nggak tahu. Cuek bebek. Buktinya, sudah enam bulan berlalu dari
surat Hana, produk sinetron remaja malah makin amburadul dan kian gawat. Nggak
ngaruh bow!
Repotnya lagi,
sekarang televisi sudah menjadi anggota keluarga. Itu berarti, nggak ada
keluarga yang lolos dari informasi yang disampaikan lewat kotak ajaib ini.
Padahal seorang pakar dan peneliti pertelevisian, Dwyer, menyimpulkan, sebagai
media audio visual, TV mampu merebut 94 % saluran masuknya pesan-pesan atau
informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga.TV mampu untuk
membuat orang pada umumnya mengingat 50 % dari apa yang mereka lihat dan dengar
di layar TV walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau secara umum orang akan
ingat 85 % dari apa yang mereka lihat di TV setelah tiga jam kemudian dan 65 %
setelah tiga hari kemudian (Dwyer, 1988). Gaswat banget kan kalo acara televisi
didominasi unsur hiburan yang minim unsur pendidikan?
Kalo kita amati,
setidaknya ada tiga aspek dalam sinetron-sinetron yang punya potensi mengkikis
keislaman kita. Antara lain aspek kekerasan, aspek moralitas, aspek
seksualitas.
“Aspek moralitas
misalnya, yang menyangkut nilai-nilai baik, buruk, benar, salah. Aspek ini
memang tidak kelihatan seperti aspek kekerasan, tapi menjadi aspek yang
penting. Perilaku tertentu yang di masyarakat dianggap salah, di sinetron
ditampilkan begitu saja tanpa ada penekanan bahwa perilaku itu salah. Banyak
sekali sinetron yang seperti itu,” ungkap Guntarto, Kepala Kajian Anak dan
Media, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI). ( idem )
Aspek seksualitas
terlihat dari cara berbusana pemain yang menonjolkan daya tarik seksualnya
hingga ekspresi cinta di antara mereka yang cenderung vulgar. Dari sekadar
bergandengan tangan, berciuman, hingga berpelukan mesra layaknya suami-istri.
Sementara aspek
kekerasan menjadi bumbu penyedap yang menajamkan konflik. Pemainnya diarahkan
untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan jotosan kepalan tangan, urat
leher yang menegang, dan jebakan-jebakan yang bisa merenggut nyawa.
Dr. Arif Sadiman
M.Sc dalam tulisannya yang berjudul “ Pengaruh televisi pada perubahan perilaku
” (jurnal teknodik No. 7/IV/Teknodik/Oktober 1999) mengutip Laporan UNESCO,
1994 yang menyatakan bahwa pada tahun 1994 koran-koran di Singapura menyajikan
hasil polling pendapat yang dilakukan pihak kepolisian kepada 50 pemuda yang
terlibat tindak kekerasan. Hasil polling tersebut menyimpulkan bahwa kebanyakan
dari mereka yang melakukan tindak kekerasan suka menikmati film-film kekerasan
di TV.
Orientasi
materi-lah yang membuat produksi sinetron di negeri kita miskin kreativitas.
Selalu berkutat pada harta, tahta, wanita, dan cinta. Yang pada akhirnya masa
depan remaja pun dikorbankan. Teganya... teganya... teganya.... (jadi inget
Meggy Z!)
Menggagas
sinetron remaja berkualitas
Sobat, kamu
pernah tahu sinetron remaja bertajuk ‘ACI' atau ‘Jendela Rumah Kita' yang dulu
sempet populer? Masih ingat dengan kisah persahabatan Ading dan Dado? Atau
pernah nonton ‘Keluarga Cemara'?
Sepertinya
sinetron-sinetron di atas bisa mewakili tayangan yang pas buat remaja. Jalan
ceritanya minim dari aspek bermasalah yang kita bahas sebelumnya. Menyajikan kesederhanaan,
persahabatan, kehidupan di sekolah, belajar mandiri dan berusaha tidak
membebani orang tua. Faktor edukasi lebih dominan dibanding eksploitasi
modernitas yang menjebak remaja menjadi plagiator budaya sekuler Barat.
Mungkinkah terjadi regenerasi film-film di atas saat ini?
Kenapa nggak?
Kita yakin para pekerja seni itu mampu mewujudkannya. Langkah awal yang
diperlukan adalah keikhlasan mereka untuk menyebarkan kebaikan. Dengan
keikhlasan itu, mereka pasti mampu mempertahankan idealisme di tengah godaan
materi yang mengkebiri kreativitasnya. Mengangkat kehidupan remaja yang kental
dengan proses pendidikan formal di sekolah seperti mengemas fenomena Kurikulum
Berbasis Kompetensi yang lagi popuer atau cerita ringan tentang remaja yang
menjalani setiap proses yang harus dilaluinya sebelum menemukan perubahan.
Semuanya tanpa harus kehilangan unsur hiburan.
Dengan begini,
kita semua berharap pelajar mampu meraih predikat seperti yang dijanjikan Allah
swt. Baik di dunia nyata atau dalam layar kaca.
...Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS al-Mujâdilah [58]: 11)
Sobat, pada
akhirnya, kita semua tentu harus menyadari bahwa predikat yang Allah janjikan
di atas akan sulit kita raih jika mengandalkan tayangan berkualitas saja.
Selain jarang, tayangan itu juga kudu bersaing dengan tayangan sejenis yang
tidak bermutu bagi pemirsa, tapi berduit bagi pengelola tv swasta, dan kebal
dari pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia. Belum lagi kian hari gaya hidup
pelajar yang bebas aturan seperti dalam sinetron kian banyak dipraktikkan oleh
temen-temen kita. Sehingga semakin besar peluang kita terpengaruh oleh budaya
barat jika tidak ditopang dengan keistiqomahan kita. Dan untuk itu, sangat
wajar rasanya jika hadir di tempat-tempat pengajian atau sekadar diskusi untuk
mengenal Islam lebih dalam menjadi langkah awal untuk meraih predikat kaum
terpelajar yang ditinggikan derajatnya oleh Allah Swt. So , tunggu apa lagi?
[hafidz]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar